Adalah kata yang digunakan untuk mengartikan leluhur atau nenek moyang. Kata itu seringkali digunakan oleh masyarakat Sunda untuk menyebutkan leluhurnya. Masyarakat Sunda sejak dahulu meyakini bahwa selalu ada hubungan yang kuat antara manusia saat ini dengan para leluhur sebelumnya, sehingga diyakini bahwa kita, manusia saat ini, dapat berinteraksi dengan leluhur sebelumnya.
Sebelumnya untuk dapat berinteraksi dengan Karuhun, terdapat beberapa contoh yang diyakini sebagai bentuk interaksi sederhana antara Karuhun dengan manusia saat ini. Ketika ada seseorang yang sebelumnya tidak pernah sama sekali melakukan suatu hal, namun pada satu waktu orang tersebut melakukan hal yang notabene seringkali dilakukan oleh Karuhun, sehingga orang-orang disekitarnya akan berkata “Aya Karuhunna nyampeurkeun” yang artinya ada salah satu leluhurnya yang sedang menghampiri orang tersebut. Entah sebuah kebetulan atau tidak namun hal tersebut sering sekali terjadi di lingkunganku.
Bentuk berikutnya dari interaksi antara manusia saat ini dengan Karuhun adalah dengan cara memanggil Karuhun untuk datang ke kehidupan saat ini. Pemanggilan Karuhun ini cukup menarik perhatianku saat Ayahku menceritakan masa kecilnya yang dikelilingi oleh orang-orang yang bisa memanggil Karuhun untuk datang. Ya, sebagai disclaimer di awal, kakekku baik dari ayah maupun dari ibu adalah termasuk kedalam orang-orang yang dapat memanggil Karuhun ke hadapan mereka. Kakekku dulu berkumpul bersama karena memang tempat tinggal ibu dan ayahku saat itu berdekatan sehingga mereka sudah saling kenal sebelum ibu dan ayahku menikah. Tidak sembarang orang dapat memanggil Karuhun, dia yang berhati bersih dan sudah mempelajari ilmu Karuhun Sunda turun temurun saja yang bisa melakukannya.
Maksud dan tujuan pemanggilan Karuhun ternyata lebih dari apa yang ada dipikiranku, tidak hanya perihal kuat-kuatan tapi juga tentang advis dalam menjalani kehidupan. Ayahku memberitahuku karena pada saat itu di kampung dimana ayahku tinggal hanya ada 5 orang yang dapat memanggil Karuhun dan mereka seringkali berpindah tempat dari rumah ke rumah untuk melakukan “kopdar” membahas permasalahan hidup bersama Karuhun, pada saat itu sering dilakukan kopdar di rumah Ayahku sehingga dia seringkali mendengarkan apa dan bagaimana yang sebenarnya terjadi disana. Topik yang dibahas disana adalah tentang bagaimana cara mendapatkan “kekuatan” untuk menolong sesama. Sehingga dengan ilmu tersebut diharapkan kelima orang tersebut dapat memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar kampung tersebut. Tidak hanya itu namun hal yang dibahas pada saat itu adalah bagaimana cara melindungi masyarakat kampung tersebut dari keadaan politik negara saat itu pada tahun 1960-an.
Namun muncul pertanyaan mendasar di kepalaku kepada Ayahku, “Bagaimana cara Karuhun datang ke tempat Kakekku berkumpul?”. Ayahku menjelaskan dengan ingatannya saat itu, dia melihat ada satu orang dari kelima orang tersebut yang menjadi “media” Karuhun untuk datang. Orang tersebut akan ditutup menggunakan kain, semacam kain sarung namun lebih besar dari sarung biasanya. Kain itu menutup seluruh tubuhnya sampai orang tersebut tidak lagi terlihat anggota tubuhnya. Dengan semacam “mantra” pemanggil Karuhun, sudah ditujukan Karuhun siapa yang akan di-summon dan Karuhun akan masuk ke tubuh orang yang ditutupi kain itu. Dengan seketika perawakan orang dalam kain tersebut akan berubah menyerupai Karuhun yang ter-summon dan bahkan bisa sampai melayang dari tanah. Tidak hanya perawakannya saja yang menyerupai Karuhun yang dipanggil tapi juga suara yang muncul pun ketika berbicara adalah suara dari Karuhun tersebut.
Inilah waktunya untuk melakukan tanya jawab dengan Karuhun perihal apa yang ingin diketahui, biasanya keempat orang sisanya menanyakan tentang ilmu Sunda Karuhun untuk diterapkan pada kehidupan nyata tanya jawab dapat berlangsung semalaman suntuk. Kakekku mencatat “spell” dari Karuhun yang nantinya akan dipelajari bersama. Karuhun yang datang saat kopdar tersebut dapat merasakan siapa saja yang ada di hadapannya. Hal tersebut diceritakan Ayahku ketika ada salah satu tetangga yang diam-diam menyelinap dan menguping “spell” yang diberikan Karuhun, sontak Karuhun tersebut berkata “Aing apal sia didinya, indit sia!!!” yang artinya “Saya tahu kamu ada disitu (tidak diundang), pergi kamu!!!”. Tidak lama Ayahku lari keluar rumah dan benar saja ada salah satu tetangga terbirit-birit lari ketakutan.
Dari kejadian tersebut aku memahami konsep Karuhun, mereka tidak akan mebiarkan warga/keluarga setelahnya “kesusahan” menjalani kehidupan melewati tangan penerusnya, dengan catatan penerusnya yang dipercayai tidak boleh menerima imbalan dalam bentuk apapun jika ada orang membutuhkan pertolongan. Hal ini diceritakan oleh Ayahku ketika ada seseorang sudah ditolong karena sakit tak kunjung sembuh, akhirnya Kakekku menolongnya dengan memberikan air doa. Keluarga dari orang tersebut memberikan imbalan berupa uang kepada Kakekku, namun Kakekku menyuruh Ayahku untuk mengantarkan uang tersebut ke orang itu. Entah jika pada saat ini masih ada orang seperti itu pasti sudah dicap orang ternaif yang pernah ada. Mungkin itu yang dinamakan ikhlas tulus yang sebenar-benarnya. Dan mungkin memang orang seperti mereka sudah sangat sulit aku temukan di lingkunganku saat ini.
Dan Kakekku menekankan kepada Ayahku “Ulah keeung, da Karuhun mah moal indit jauh, pasti ngajagaan ka nu hatena lurus.” yang artinya “Jangan terlalu khawatir, karena Karuhun tidak akan jauh pergi dari orang yang hatinya lurus (tulus)”. Kirmikan doa kepada Karuhun kita bukan hal yang keliru rasanya, karena pada intinya kita ada karena mereka.
Cerita singkat ini aku tulis setelah Ayahku sharing kehidupan masa kecilnya yang dia rindukan, perasaan tercengang dan amazed masih sangat terpatri dalam pikiranku perihal hal tersebut.